Demi Tambang Nikel, Aktivis Diseret: Greenpeace dan Papua Tak Diam saat Raja Ampat Dihancurkan

Jakarta, 3 Juni 2025 – Ketika suara rakyat dikriminalisasi dan surga terakhir dunia di ambang kehancuran, publik patut bertanya: transisi energi hijau ini untuk siapa?

Pada Selasa, 3 Juni 2025, sejumlah aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia dan perwakilan komunitas Papua ditangkap secara paksa saat melakukan aksi damai menolak tambang nikel di Raja Ampat, dalam forum Indonesia Critical Minerals Conference 2025 yang digelar di Hotel Pullman Jakarta.

Aksi tersebut berlangsung damai. Para aktivis hanya membawa spanduk dan pesan “Save Raja Ampat, Tolak Tambang Nikel” sebelum akhirnya diamankan petugas keamanan. Tindakan represif ini memicu kecaman luas dari masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi HAM.

“Ini bukan hanya bentuk pembungkaman demokrasi, tetapi juga menunjukkan siapa yang sebenarnya dilindungi oleh negara: korporasi, bukan rakyat dan alamnya,” ujar salah satu pengunjuk rasa sebelum digiring keluar.

Sumber resmi @deduktif.id mengonfirmasi bahwa beberapa aktivis masih dalam proses pemeriksaan di kepolisian pasca insiden tersebut.

Toenjes Swansen: ‘Raja Ampat Itu Rumah, Bukan Proyek Nikel’

Dukungan kritis terus mengalir, termasuk dari Direktur Eksekutif Komunitas Demokrasi Papua (KODE), Toenjes Swansen Maniagasi, yang mengecam keras penangkapan itu.

“Ketika Papua bersuara, mereka ditangkap. Ketika oligarki tambang masuk, mereka disambut karpet merah. Ini bukan sekadar perampokan ruang hidup, ini kolonialisme yang diperbarui,” tegas Toenjes.

Ia menambahkan bahwa penambangan nikel di Papua Barat—termasuk Raja Ampat—tidak hanya merusak ekosistem, tapi juga menghancurkan sistem sosial dan kultural masyarakat adat yang selama ini hidup berdampingan dengan alam.

Baca juga  Gen-Z Mulai Tinggalkan Google untuk Cari Berita

Greenpeace: Energi Bersih Jangan Dibangun di Atas Kekerasan dan Kerusakan

Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa transisi energi hijau seharusnya adil dan berkelanjutan, bukan berlumuran lumpur tambang dan air mata rakyat adat.

“Kita tidak bisa selamatkan iklim dengan menghancurkan laut Raja Ampat. Nikel bukan masa depan jika masa depan itu dibangun dengan kekerasan, penangkapan, dan perusakan alam,” ujar juru bicara Greenpeace dalam pernyataan resminya.

Raja Ampat: Surga Terakhir yang Kian Terancam

Raja Ampat, dengan 75% spesies karang dunia dan ribuan spesies laut, kini berada di persimpangan jalan: dilindungi atau dijual. Pemerintah Indonesia dituding terus memberi ruang pada korporasi tambang untuk masuk dengan dalih investasi energi masa depan, sementara kerusakan ekologis dan konflik sosial terus meluas.

Saatnya Publik Bergerak

Aksi dan penangkapan ini menjadi simbol bahwa suara rakyat Papua dan aktivis lingkungan tidak lagi aman dalam sistem yang condong kepada modal. Kini, Greenpeace dan masyarakat adat mengajak publik untuk bersolidaritas:

🔗 Tanda tangani petisi untuk melindungi Raja Ampat: act.gp/saverajaampat

#SaveRajaAmpat #TolakTambangNikel #Greenpeace #TheLastParadise #StopEcoColonialism

Related posts
Tutup
Tutup